CHAPTER III - Bu Guru Cengeng
Hai olmaipren,
Kalau kamu
baca Chapter III ini saya harap kalian juga baca chapter I dan II ya, biar nyambung
ceritanya, yah namanya juga cerita bersambung.
Semua kisah
hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama dan tempat lokasi kejadian itu
hanya sok taunya penulis amatir ini saja. Hehe.
Enjoy this
chapter ^_^
****
Sepanjang perjalanan pulang aku hanya diam menatap keluar
jendela. Bukannya aku tidak tau sedari tadi Radit mencuri-curi pandang
kepadaku. Seperti ada yang mau ditanyakannya. Mungkin karna melihat aku hanya
diam saja akhirnya dia juga segan sendiri.
Aku masih membayangkan rentetan kejadian hari ini.
Seperti kaset yang terus di ulang-ulang di kepalaku. Aku kembali menyeka air
mata yang lolos begitu saja ketika terbayang wajah anak-anak polos itu. Satu
hal yang baru aku sadari dari profesi baruku ini. Aku belum cukup kuat mental
menghadapi ini.
“Indi...”, Radit memanggilku pelan.
Aku belum mau menoleh atau menjawabnya. Aku masih sibuk
menyeka air mata yang lagi-lagi bisa lolos walau sudah sekuat mungkin ku tahan.
“Indi...”
“Indi, sebenarnya saya tau siapa di balik kejadian semua
ini”
Aku terkejut, berpaling cepat menatap Radit. Menatapnya
tajam seolah bertanya. Siapa?
Mobil berhenti, lampu merah. Radit balik menatapku juga.
“Pak Jay”, katanya lirih. Lirih sekali hingga aku merasa
salah dengar.
“Apa?” aku bertanya seolah ragu dengan pendengaranku.
Radit diam saja.
“Radit kamu bilang apa? Siapa yang ngelakuin ini semua?”
Radit masih diam.
“Radit kamu serius? Pak Jay? Pak Jay yang bawa pompong di
penyebrangan?”
Radit hanya menjawab dengan anggukan. Dia kembali
menjalankan mobil. Lampu hijau.
Aku menghembuskan nafas frustasi. Pikiranku berkecamuk.
Untuk apa pak jay melakukan ini semua? Kenapa dia tega? Sejahat itukah pak jay?
Tunggu dulu. Kenapa Radit tiba-tiba bisa berkesimpulan
Pak Jay yang melakukan pembakaran? Bukankah tadi pagi aku naik pompong yang
dibawa Pak Jay? Lalu bagaimana bisa Pak Jay yang melakukan.
“Pak Jay memang bukan melakukannya secara langsung, tentu
saja komplotannya yang melakukan itu”. Radit seperti bisa membaca pikiranku.
“Tadi pagi Pak Jay masih bawa pompong kan di
penyebrangan?” tanya Radit.
Ku jawab dengan anggukan.
“Kalau dugaan saya benar, berarti komplotannya Pak Jay
membakar semak dibelakang sekolah. Angin kencang yang membawa api cepat menyambar
bangunan sekolah kayu itu”.
“Kenapa?” aku memotong penjelasan Radit.
“Kenapa Pak Jay tega sejahat itu?” aku berkata pelan,
membuang muka ke arah jendela. Mencoba menutupi emosi.
....................................................
****
“Thanks dit”, aku turun dari mobil.
“Iya sama-sama, besok pagi kita ke pulau itu sama team
yang lain. Kita ketemuan di pelabuhan penyebrangan.” Radit mengingatkan.
Aku hanya menjawab dengan anggukan. Lalu berjalan cepat
masuk kedalam rumah.
kalian pasti pernah dengar orang bilang hidup itu kayak
naik roller coaster. Kadang dibawah
kadang di atas. Perasaan belum lama aku punya kegiatan rutin yang gitu-gitu
aja. Ngantor, meeting, ikut seminar,
makan siang dengan klien, pulang kerumah, tidur, terus paginya berangkat
ngantor lagi dan begitulah selanjutnya. Lalu semua berubah, pagi sekali aku sudah
menunggu pompong di penyebrangan, jalan kaki beberapa meter untuk sampai di
sekolah, disambut anak-anak dengan wajah polos ceria mereka, lalu wajah polos
ceria itu berganti tangis dan muram, entahlah besok masih adakah anak-anak yang
menungguku datang di sekolah yang tinggal abu dan puing?
Di dunia ini kawan kalau ada yang bisa mengalahkan
kebaikan dan kedamaian itu adalah hawa nafsu. Sebut saja nafsu ingin memiliki,
nafsu ingin menguasai.
Di dunia ini kawan kalau ada penyakit paling kronis itu
adalah penyakit hati, iri dengki. Kesal melihat orang bahagia. Senang melihat
orang terluka.
Seperti Pak Jay. Ah rasanya aku malas sekali sekarang
menyebut namanya. Siapa yang menyangka dia berada dibalik semua kejadian ini?
Siapa yang menyangka lelaki berperawakan kurus tinggi hitam yang biasanya ramah
itu sebenarnya licik dan jahat? Lelaki yang biasa menyapaku ramah, yang sering
menolak kalau kubayar ongkos pompongnya, yang bilang bangga pada anaknya yang
mau sekolah lagi, atau kalian masih ingat kejadian tadi pagi saat di pompong
hujan deras dan angin kuat, Pak Jay memberiku safety jacket karna ia tau aku takut dan tak bisa berenang. Seperti
Pak Jay bukan Pak Jay. Jadi siapa sebenarnya Pak Jay?
Drrrtttt....... Drrrtttt....... Hp ku bergetar,
membuyarkan lamunan absurd tentang siapa sebenarnya Pak Jay.
From :
+628136452XXXX
Pak Jay sudah
diamankan polisi.
Dia dan
komplotannya terbukti membakar sekolah.
Besok pagi
kamu harus kekantor polisi untuk memberi keterangan sebagai saksi.
Setelah itu
baru ke pulau.
Saya jemput
besok pagi.
-R-
Siapa R? Sok inisial. Aku mengetik cepat untuk membalas
pesan masuk ini.
To :
+628136452XXXX
Ini Radit ya?
Pesan masuk kembali.
From :
+628136452XXXX
iya ini Radit.
Dugaan saya
benar, ind.
Yasudah kamu
sebaiknya istirahat dan jangan banyak berpikir lagi.
Aku membaca datar pesan-pesan Radit. Berkali-kali ku
baca. Dugaannya benar. Pak Jay Pelakunya. Lalu apa alasannya juga benar? Kalian
mau tau apa penjelasan Radit di mobil tadi waktu kutanya kenapa Pak Jay tega
melakukan ini.
Pak Jay sama seperti warga kebanyakan di pulau itu,
selain sebagai petani kelapa, Pak Jay juga membawa pompong di penyebrangan.
Beberapa bulan lalu orangtua Pak Jay meninggal. Anak-anaknya berebut harta
warisan dari orangtua. Pak Jay yang ternyata cuma anak angkat dikeluarga itu
hanya bisa menerima ketika pembagian harta ia diberi tanah sepetak yang
diatasnya berdiri sekolah kayu. Entahlah bagaimana ceritanya tanah bagian Pak
Jay itu sebenarnya sudah pernah dihibahkan orangtuanya untuk di dirikan
sekolah. Semua orang tau kalau tanah itu sudah dihibahkan untuk dibuat sekolah.
Pak Jay kesal karna tidak mendapatkan harta warisan
apapun, karna akhirnya sekolah kembali beroperasi. Belum lagi ia seringkali
merasa iri kepada kakak-kakaknya yang mendapatkan warisan lebih banyak.
Rencananya sebelum sekolah kembali beroperasi bangunan kayu itu mau dijualnya,
sekalian tanahnya juga. Sudah ada juragan yang mau membeli untuk dijadikan gudang
kelapa. Lalu team relawan datang dan musnahlah semua harapan Pak Jay. Seiring
kan sekarang dengan musnahnya harapan anak-anak untuk bisa tetap sekolah. Dunia
ini begitu lucu kawan, iri dengki bisa berubah jadi amarah, bahkan yang tak
salahpun terkena imbasnya.
Berkat bantuan komplotannya, Pak Jay sengaja membakar
sekolah. Tujuannya ia ingin menguasai kembali tanah sekolah itu. Beberapa kali
juragan kelapa mendesaknya untuk segera menjual tanah sekolah tersebut. Lagi ku
bilang kawan, dunia ini begitu lucu, manusia begitu bodoh menjadi budak nafsu.
****
Singkat cerita, hari ini, tepatnya pagi tadi Radit
menjemputku. Ia menemaniku ke kantor polisi, aku dimintai keterangan terkait
saksi kebakaran. Lalu sekarang kami berada di atas pompong, membelah lautan
untuk kembali ke pulau. Semakin dekat dengan pulau dadaku seakan bergemuruh,
aku takut membayangkan kebakaran semalam. Aku rasanya tak kuat melihat wajah
polos anak-anak yang muram. Tapi kurasa anak-anak pulau ini berbeda. Lihatlah
kawan, siapa itu segerombol anak-anak yang duduk di tepi pelabuhan. Mataku
berbinar, tak sabar rasanya dikerumuni mereka kembali. Mereka menungguku kan?
Benar menungguku kan?.
“Benar kok, anak-anak memang nungguin kamu tuh”, Radit
bergumam disampingku.
What?
Radit bilang apa? Aku sedari tadi tidak bicara
apapun lho, aku sibuk dengan pikiranku. Ya ampun ini si Radit kenapa bisa baca
pikiran aku.
“Bu guru datang... Bu guru datang.....!!!” Teriakan
anak-anak mengembalikan fokusku. Mereka melompat-lompat kegirangan. Pompong
merapat ke pelabuhan, aku berdiri segera menaiki tangga kayu menuju atas
pelabuhan. Anak-anak itu berlari menghampiriku, lantas memelukku begitu saja.
Kawan, ini yang tak pernah aku dapatkan selama menjadi
pekerja kantoran. Kasih sayang tulus dari anak-anak yang bahkan baru mengenalmu
seminggu saja.
“Kami kira bu guru tak datang lagi”
“ibu datang” aku menjawab pelan.
“Ibu harus tetap datang mengajar, kami belum lancar
membaca bu”
“iya nanti kita belajar baca lagi ya”, jawabku sambil
menyeka airmata terharu.
“Ibu, si Rofiq tak mau sekolah lagi katanya. Tadi malam
Bapaknya ditangkap polisi”
“Bu guru, ternyata yang bakar sekolah kita bapaknya si
Rofiq”
“Bu guru, kami tak mau kawan dengan Rofiq lagi, anak
penjahat macam dia biar aja tak punya kawan”
Aku terkesiap. Rofiq. Anaknya Pak Jay.
Rofiq anak yang pintar sebenarnya, dibanding anak-anak
lain Rofiq lebih cepat menangkap pelajaran. Sekarang anak itu yang harus
menanggung beban sosial akibat perbuatan bapaknya.
Kawan, ternyata urusan ini rumit akhirnya. Aku harus
gimana sekarang? Menemui Rofiq atau membiarkan saja Rofiq dan beban sosialnya?
“Nanti kita temui Rofiq dan Ibunya. Yang jahat bapaknya
bukan anaknya. Kamu ga tega kan anak sepintar Rofiq putus sekolah?”, Radit
entah sejak kapan sudah berdiri disampingku.
What?
Radit bilang apa tadi? Nah lagi kan, dia bisa baca
pikiran aku. Oke fix Radit kayaknya keturunan cenayang.
Aku menatap Radit dengan ekspresi paling aneh yang aku
punya.
“Saya bukan keturunan cenayang. Ekspresi kamu itu terlalu
mudah untuk saya tebak. Jadi relawan itu harus tangguh. Tidak hanya secara
fisik, psikis kamu juga. Dasar cewek, cengeng. Bu guru cengeng”.
Kawan, bisa kasih aku waktu buat mikir. Kayaknya aku
perlu waktu untuk membalas kata-kata Radit. Enak saja dikatainya aku cengeng. Walau
emang sih kenyataannya aku memang cengeng, tapi kan ga di omongin di depan
anak-anak juga kali. Jelas saja anak-anak langsung mentertawakanku. Aku kan
maluuuuuuuuuu............
****
Selesai-Finish-Tamat.
****
Akhirnya
chapter III selesai. Kalau ada yang tanya kenapa Cuma tiga chapter doang cerita
bersambungnya? Itu karna aku ga mau kalian bosen olmaipren.
Kalau ada yang
tanya koq endingnya nanggung gitu sih? Gantung banget. Jujur aku juga maunya ga
nanggung akhirnya tapi kalau jadinya gitu gimana dong? Hahahaha.
Kalau ada yang
bilang endingnya rancu, ga jelas, ga nyambung. Yah maklumin lah, tiap penulis
punya gaya masing-masing untuk karya mereka. Termasuk cara penyampaian ending.
Sengaja kubuat gitu, biar kalian nebak-nebak sendiri lah akhirnya gimana. Yang
jelas Indi tetap jadi Bu guru relawan.
Akhir kata,
thankyou buat olmaipren yg udah ngikutin baca di ketiga chapter. Maaf kalau ada
salah-salah kata ya, typo dan segala macam.
See u @ other
story,
Bye.
-Tari-
Penulis
amatir.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar