Selasa, 18 Oktober 2016

CERBUNG : BU GURU - CHAPTER III - BU GURU CENGENG



CHAPTER III - Bu Guru Cengeng




 
Hai olmaipren,

Kalau kamu baca Chapter III ini saya harap kalian juga baca chapter I dan II ya, biar nyambung ceritanya, yah namanya juga cerita bersambung.

Semua kisah hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama dan tempat lokasi kejadian itu hanya sok taunya penulis amatir ini saja. Hehe.

Enjoy this chapter ^_^

****

Sepanjang perjalanan pulang aku hanya diam menatap keluar jendela. Bukannya aku tidak tau sedari tadi Radit mencuri-curi pandang kepadaku. Seperti ada yang mau ditanyakannya. Mungkin karna melihat aku hanya diam saja akhirnya dia juga segan sendiri.

Aku masih membayangkan rentetan kejadian hari ini. Seperti kaset yang terus di ulang-ulang di kepalaku. Aku kembali menyeka air mata yang lolos begitu saja ketika terbayang wajah anak-anak polos itu. Satu hal yang baru aku sadari dari profesi baruku ini. Aku belum cukup kuat mental menghadapi ini.

“Indi...”, Radit memanggilku pelan.

Aku belum mau menoleh atau menjawabnya. Aku masih sibuk menyeka air mata yang lagi-lagi bisa lolos walau sudah sekuat mungkin ku tahan.
 
“Indi...”

“Indi, sebenarnya saya tau siapa di balik kejadian semua ini”

Aku terkejut, berpaling cepat menatap Radit. Menatapnya tajam seolah bertanya. Siapa?

Mobil berhenti, lampu merah. Radit balik menatapku juga.

“Pak Jay”, katanya lirih. Lirih sekali hingga aku merasa salah dengar.

“Apa?” aku bertanya seolah ragu dengan pendengaranku.

Radit diam saja.

“Radit kamu bilang apa? Siapa yang ngelakuin ini semua?”

Radit masih diam.

“Radit kamu serius? Pak Jay? Pak Jay yang bawa pompong di penyebrangan?”

Radit hanya menjawab dengan anggukan. Dia kembali menjalankan mobil. Lampu hijau.

Aku menghembuskan nafas frustasi. Pikiranku berkecamuk. Untuk apa pak jay melakukan ini semua? Kenapa dia tega? Sejahat itukah pak jay?

Tunggu dulu. Kenapa Radit tiba-tiba bisa berkesimpulan Pak Jay yang melakukan pembakaran? Bukankah tadi pagi aku naik pompong yang dibawa Pak Jay? Lalu bagaimana bisa Pak Jay yang melakukan.

“Pak Jay memang bukan melakukannya secara langsung, tentu saja komplotannya yang melakukan itu”. Radit seperti bisa membaca pikiranku.

“Tadi pagi Pak Jay masih bawa pompong kan di penyebrangan?” tanya Radit.

Ku jawab dengan anggukan.

“Kalau dugaan saya benar, berarti komplotannya Pak Jay membakar semak dibelakang sekolah. Angin kencang yang membawa api cepat menyambar bangunan sekolah kayu itu”.

“Kenapa?” aku memotong penjelasan Radit.

“Kenapa Pak Jay tega sejahat itu?” aku berkata pelan, membuang muka ke arah jendela. Mencoba menutupi emosi. 

....................................................


****


“Thanks dit”, aku turun dari mobil.

“Iya sama-sama, besok pagi kita ke pulau itu sama team yang lain. Kita ketemuan di pelabuhan penyebrangan.” Radit mengingatkan.

Aku hanya menjawab dengan anggukan. Lalu berjalan cepat masuk kedalam rumah.

kalian pasti pernah dengar orang bilang hidup itu kayak naik roller coaster. Kadang dibawah kadang di atas. Perasaan belum lama aku punya kegiatan rutin yang gitu-gitu aja. Ngantor, meeting, ikut seminar, makan siang dengan klien, pulang kerumah, tidur, terus paginya berangkat ngantor lagi dan begitulah selanjutnya. Lalu semua berubah, pagi sekali aku sudah menunggu pompong di penyebrangan, jalan kaki beberapa meter untuk sampai di sekolah, disambut anak-anak dengan wajah polos ceria mereka, lalu wajah polos ceria itu berganti tangis dan muram, entahlah besok masih adakah anak-anak yang menungguku datang di sekolah yang tinggal abu dan puing?

Di dunia ini kawan kalau ada yang bisa mengalahkan kebaikan dan kedamaian itu adalah hawa nafsu. Sebut saja nafsu ingin memiliki, nafsu ingin menguasai.  

Di dunia ini kawan kalau ada penyakit paling kronis itu adalah penyakit hati, iri dengki. Kesal melihat orang bahagia. Senang melihat orang terluka.

Seperti Pak Jay. Ah rasanya aku malas sekali sekarang menyebut namanya. Siapa yang menyangka dia berada dibalik semua kejadian ini? Siapa yang menyangka lelaki berperawakan kurus tinggi hitam yang biasanya ramah itu sebenarnya licik dan jahat? Lelaki yang biasa menyapaku ramah, yang sering menolak kalau kubayar ongkos pompongnya, yang bilang bangga pada anaknya yang mau sekolah lagi, atau kalian masih ingat kejadian tadi pagi saat di pompong hujan deras dan angin kuat, Pak Jay memberiku safety jacket karna ia tau aku takut dan tak bisa berenang. Seperti Pak Jay bukan Pak Jay. Jadi siapa sebenarnya Pak Jay?

Drrrtttt....... Drrrtttt....... Hp ku bergetar, membuyarkan lamunan absurd tentang siapa sebenarnya Pak Jay.


From : +628136452XXXX
Pak Jay sudah diamankan polisi.
Dia dan komplotannya terbukti membakar sekolah.
Besok pagi kamu harus kekantor polisi untuk memberi keterangan sebagai saksi.
Setelah itu baru ke pulau.
Saya jemput besok pagi.

-R-

Siapa R? Sok inisial. Aku mengetik cepat untuk membalas pesan masuk ini.


To : +628136452XXXX
Ini Radit ya?


Pesan masuk kembali.


From : +628136452XXXX
iya ini Radit.
Dugaan saya benar, ind.
Yasudah kamu sebaiknya istirahat dan jangan banyak berpikir lagi.


Aku membaca datar pesan-pesan Radit. Berkali-kali ku baca. Dugaannya benar. Pak Jay Pelakunya. Lalu apa alasannya juga benar? Kalian mau tau apa penjelasan Radit di mobil tadi waktu kutanya kenapa Pak Jay tega melakukan ini. 

Pak Jay sama seperti warga kebanyakan di pulau itu, selain sebagai petani kelapa, Pak Jay juga membawa pompong di penyebrangan. Beberapa bulan lalu orangtua Pak Jay meninggal. Anak-anaknya berebut harta warisan dari orangtua. Pak Jay yang ternyata cuma anak angkat dikeluarga itu hanya bisa menerima ketika pembagian harta ia diberi tanah sepetak yang diatasnya berdiri sekolah kayu. Entahlah bagaimana ceritanya tanah bagian Pak Jay itu sebenarnya sudah pernah dihibahkan orangtuanya untuk di dirikan sekolah. Semua orang tau kalau tanah itu sudah dihibahkan untuk dibuat sekolah. 

Pak Jay kesal karna tidak mendapatkan harta warisan apapun, karna akhirnya sekolah kembali beroperasi. Belum lagi ia seringkali merasa iri kepada kakak-kakaknya yang mendapatkan warisan lebih banyak. Rencananya sebelum sekolah kembali beroperasi bangunan kayu itu mau dijualnya, sekalian tanahnya juga. Sudah ada juragan yang mau membeli untuk dijadikan gudang kelapa. Lalu team relawan datang dan musnahlah semua harapan Pak Jay. Seiring kan sekarang dengan musnahnya harapan anak-anak untuk bisa tetap sekolah. Dunia ini begitu lucu kawan, iri dengki bisa berubah jadi amarah, bahkan yang tak salahpun terkena imbasnya.

Berkat bantuan komplotannya, Pak Jay sengaja membakar sekolah. Tujuannya ia ingin menguasai kembali tanah sekolah itu. Beberapa kali juragan kelapa mendesaknya untuk segera menjual tanah sekolah tersebut. Lagi ku bilang kawan, dunia ini begitu lucu, manusia begitu bodoh menjadi budak nafsu.


****


Singkat cerita, hari ini, tepatnya pagi tadi Radit menjemputku. Ia menemaniku ke kantor polisi, aku dimintai keterangan terkait saksi kebakaran. Lalu sekarang kami berada di atas pompong, membelah lautan untuk kembali ke pulau. Semakin dekat dengan pulau dadaku seakan bergemuruh, aku takut membayangkan kebakaran semalam. Aku rasanya tak kuat melihat wajah polos anak-anak yang muram. Tapi kurasa anak-anak pulau ini berbeda. Lihatlah kawan, siapa itu segerombol anak-anak yang duduk di tepi pelabuhan. Mataku berbinar, tak sabar rasanya dikerumuni mereka kembali. Mereka menungguku kan? Benar menungguku kan?.

“Benar kok, anak-anak memang nungguin kamu tuh”, Radit bergumam disampingku. 

What? 
Radit bilang apa? Aku sedari tadi tidak bicara apapun lho, aku sibuk dengan pikiranku. Ya ampun ini si Radit kenapa bisa baca pikiran aku.

“Bu guru datang... Bu guru datang.....!!!” Teriakan anak-anak mengembalikan fokusku. Mereka melompat-lompat kegirangan. Pompong merapat ke pelabuhan, aku berdiri segera menaiki tangga kayu menuju atas pelabuhan. Anak-anak itu berlari menghampiriku, lantas memelukku begitu saja. 

Kawan, ini yang tak pernah aku dapatkan selama menjadi pekerja kantoran. Kasih sayang tulus dari anak-anak yang bahkan baru mengenalmu seminggu saja.

“Kami kira bu guru tak datang lagi”

“ibu datang” aku menjawab pelan.
 
“Ibu harus tetap datang mengajar, kami belum lancar membaca bu”
 
“iya nanti kita belajar baca lagi ya”, jawabku sambil menyeka airmata terharu.

“Ibu, si Rofiq tak mau sekolah lagi katanya. Tadi malam Bapaknya ditangkap polisi”

“Bu guru, ternyata yang bakar sekolah kita bapaknya si Rofiq”

“Bu guru, kami tak mau kawan dengan Rofiq lagi, anak penjahat macam dia biar aja tak punya kawan”

Aku terkesiap. Rofiq. Anaknya Pak Jay.

Rofiq anak yang pintar sebenarnya, dibanding anak-anak lain Rofiq lebih cepat menangkap pelajaran. Sekarang anak itu yang harus menanggung beban sosial akibat perbuatan bapaknya.

Kawan, ternyata urusan ini rumit akhirnya. Aku harus gimana sekarang? Menemui Rofiq atau membiarkan saja Rofiq dan beban sosialnya?

“Nanti kita temui Rofiq dan Ibunya. Yang jahat bapaknya bukan anaknya. Kamu ga tega kan anak sepintar Rofiq putus sekolah?”, Radit entah sejak kapan sudah berdiri disampingku.

What? 
Radit bilang apa tadi? Nah lagi kan, dia bisa baca pikiran aku. Oke fix Radit kayaknya keturunan cenayang.

Aku menatap Radit dengan ekspresi paling aneh yang aku punya.

“Saya bukan keturunan cenayang. Ekspresi kamu itu terlalu mudah untuk saya tebak. Jadi relawan itu harus tangguh. Tidak hanya secara fisik, psikis kamu juga. Dasar cewek, cengeng. Bu guru cengeng”. 

Kawan, bisa kasih aku waktu buat mikir. Kayaknya aku perlu waktu untuk membalas kata-kata Radit. Enak saja dikatainya aku cengeng. Walau emang sih kenyataannya aku memang cengeng, tapi kan ga di omongin di depan anak-anak juga kali. Jelas saja anak-anak langsung mentertawakanku. Aku kan maluuuuuuuuuu............


****


Selesai-Finish-Tamat.



****

Akhirnya chapter III selesai. Kalau ada yang tanya kenapa Cuma tiga chapter doang cerita bersambungnya? Itu karna aku ga mau kalian bosen olmaipren.

Kalau ada yang tanya koq endingnya nanggung gitu sih? Gantung banget. Jujur aku juga maunya ga nanggung akhirnya tapi kalau jadinya gitu gimana dong? Hahahaha.

Kalau ada yang bilang endingnya rancu, ga jelas, ga nyambung. Yah maklumin lah, tiap penulis punya gaya masing-masing untuk karya mereka. Termasuk cara penyampaian ending. Sengaja kubuat gitu, biar kalian nebak-nebak sendiri lah akhirnya gimana. Yang jelas Indi tetap jadi Bu guru relawan. 

Akhir kata, thankyou buat olmaipren yg udah ngikutin baca di ketiga chapter. Maaf kalau ada salah-salah kata ya, typo dan segala macam.

See u @ other story,

Bye.


-Tari-

Penulis amatir.

Senin, 17 Oktober 2016

CERBUNG : BU GURU - CHAPTER II - SEKOLAH



CHAPTER II : SEKOLAH




Aku masih tidak percaya, sekolah tempatku mengajar seminggu ini sebagian gedungnya sudah berubah menjadi abu. Usah kau tanya aku apa sebabnya? Aku juga tak tau bagaimana menjelaskannya.

Pagi itu aku berjalan tergesa – gesa, lalu entah bagaimana api sudah membakar sebagian gedung sekolah. Apa kau berfikir gedung yang kumaksud itu gedung bertingkat dua sebagaimana sekolah di Batam? Kau salah kawan, sekolah kami itu hanya dua petak bangunan dari kayu, berlantaikan semen, dan beratap seng. Satu ruangan digunakan untuk kelas, satu ruangan lagi adalah kantor guru. 

Lalu apa yang membuat bangunan tak layak ini bisa kebakaran? Aku tak tau pasti.

Tapi yang ku tahu sekarang perasaanku sama abunya seperti bentuk sekolah sekarang, berantakan.

Setelah api bisa dipadamkan, tak ada yang tersisa. Bangunan kayu itu mudah saja habis terbakar. Meja dan kursi kayu juga tak ada yang bisa diselamatkan. 

Aku shock itu pasti, tapi aku bisa apa? 

Aku menyeka air mata yang sudah siap menetes. 

“Bu guru, sekolah kita habis bu, macam mana kita mau belajar bu?”

“hiks.. hiks.. Bu guru, kita dah tak bisa sekolah lagi”

Satu anak meraih tangan kananku, satu anak memegang lengan kiriku, yang lain mengerubungiku. Kalian bisa bantu aku jawab apa ke anak-anak ini? Rasanya tenggorokanku tercekat tak bisa berkata apa-apa.

Sekolah ini memang hanya 1 kelas dengan beragam anak berusia 6-10 tahun. Total murid sekitar 15 anak. Mereka semua sama, masih duduk di kelas 1 SD. Baru seminggu ini mereka mulai belajar lagi. Lalu sekarang?

Sebulan lalu aku memutuskan resign dari sebuah kantor swasta, yang bergerak di bidang konsultan keuangan. Jabatan terakhirku, senior accounting. Aku banting stir jadi relawan, mengajar dengan sukarela di sekolah ini. Aku yang dilanda kegamangan setahunan ini, aku yang mulai merasa jenuh dengan rutinitas kantoran, aku yang setahunan merasa jadi accounting bukan tujuan hidupku, aku yang mendadak muak melihat deretan angka di komputer. Aku resign. Aku memutuskan hubungan dengan semua hal yang berbau accounting. Karirku berhenti. Aku pengangguran. Hingga 2 minggu setelah resign aku mendaftarkan diri sebagai relawan mengajar untuk pulau-pulau hinterland disekitar Batam dan Kepulauan Riau. Lalu aku mengikuti training dan segala macamnya. Apa yang membuat aku tiba-tiba tertarik? Aku juga tidak tau. Seperti jatuh cinta yang tak butuh banyak alasan, maka ketika aku memutuskan untuk jadi relawan juga tak banyak alasan. Aku mau. Begitu saja alasanku cukup. Seminggu setelahnya aku mulai mengajar di pulau ini. Guru SD kelas 1 yang muridnya hanya 15 orang dengan beragam usia. Sekolah kayu ini sudah lama sekali tak beroperasional. Dengan semua resiko yang akan aku hadapi aku meneguhkan hati siap lahir batin dengan tugas baruku menjadi relawan pengajar di pulau ini. Tanpa digaji. Ikhlas berbakti.

Kalau tadi aku bilang aku siap dengan semua resiko. Tapi jujur setelah kejadian kebakaran ini aku tak yakin lagi? Semangatku hilang. 

“Sudahlah anak-anak. Bu guru bawa anak-anaknya dulu ke tepian sana, biar warga bersihkan dulu ini puing-puingnya, bahaya disini”, kata seorang bapak yang kutahu beliau dan beberapa warga disini yang turut memadamkan api.

Aku berjalan terhuyung dikelilingi anak-anak. Aku terduduk di tanah. Anak-anak mengelilingiku. Seolah menungguku berbicara. Lagi-lagi aku harus menyeka air mata melihat wajah polos mereka. Lagi aku bertanya ke kalian, bisa bantu aku jelaskan ke anak-anak ini kalau semua baik-baik saja? Ah, apanya yang baik-baik saja kalau sudah habis tak bersisa begini.

“Anak-anak, sekolah kita sudah habis terbakar”, aku berkata pelan dengan suara parau menahan tangis

“kalian harus sabar, ini cobaan. Allah mau lihat keteguhan hati anak-anak semua. Jadi sekali lagi ibu bilang kalian harus sabar, ikhlas”

“nanti sekolahnya kita bangun lagi, anak-anak tetap masih bisa sekolah nanti, jangan sedih lagi ya, harus tetap semangat...”


****


“ini bukan sekedar bencana. Saya yakin ini direncanakan. Kamu tau kan awal-awal kita survei lokasi setelah training, ada sebagian warga disana yang tidak ingin sekolah itu beroperasi lagi. Karena 2 ruangan itu mau  berganti fungsi jadi gudang kelapa. Walau akhirnya setelah kita mengurus izin kesana kemari banyak juga warga yang akhirnya berpihak ke kita dan menyambut baik keberadaan sekolah itu. Masalahnya adalah siapa dalang dari semua ini”, Mas Fajar, ketua tim relawan masih sibuk mengomentari kejadian tadi pagi.

Sekarang jam 20.00. Aku masih duduk mendengar para relawan ini mengomentari kejadian tadi pagi. Aku lelah, pasti. 

“Kita harus cari tau siapa dalang dibalik ini semua. Kalau perlu kita laporkan saja kejadian ini ke polisi”, Mas Fajar masih terus berkomentar. 

Asal kalian tau ya, aku mendengar kalimat itu dari mulut Mas Fahar sudah lebih dari 10 kali terhitung sejak aku datang di kantor relawan ini. Aku ingin menyela sebenarnya. Tapi aku sudah terlanjur lelah. Biarkan saja orang-orang ini dengan komentarnya.

Waktu menunjukkan pukul 20.45 aku memutuskan beranjak dari sini.

“Mas Fajar, saya izin pulang dulu. Saya lelah”

“Oh iya Indi, kamu pulang aja. Biar masalah ini kami yang selesaikan”, Mas Fajar menyambut cepat.

Aku hanya mengangguk. Aku terlalu lelah hari ini.

“Radit, lu antar Indi pulang pakai mobil gue. Kasian dia kelelahan sampai pucat begitu”, Mas Fajar menyuruh Radit yang sedang duduk di pojokan untuk mengantarku.


****


Sepanjang perjalanan pulang aku hanya diam menatap keluar jendela. Bukannya aku tidak tau sedari tadi Radit mencuri-curi pandang kepadaku. Seperti ada yang mau ditanyakannya. Mungkin karna melihat aku hanya diam saja akhirnya dia juga segan sendiri.

Aku masih membayangkan rentetan kejadian hari ini. Seperti kaset yang terus di ulang-ulang di kepalaku. Aku kembali menyeka air mata yang lolos begitu saja ketika terbayang wajah anak-anak polos itu. Satu hal yang baru aku sadari dari profesi baruku ini. Aku belum cukup kuat mental menghadapi ini.

“Indi...”, Radit memanggilku pelan.

Aku belum mau menoleh atau menjawabnya. Aku masih sibuk menyeka air mata yang lagi-lagi bisa lolos walau sudah sekuat mungkin ku tahan.

“Indi...”

“Indi, sebenarnya saya tau siapa di balik kejadian ini semua”

Aku terkejut, berpaling cepat menatap Radit. Menatapnya tajam seolah bertanya. Siapa?


****

*bersambung*

yuhuuu Chapter II selesai syudaahh.. kalau ada hal yang ga nyambung abaikan aja ya. 
makasih yang udah mau baca. Penasaran ga lanjutannya apa??? 

Gak ya??? yaudah deh -____-
 apa?? penasaran dikit??? oke fix ntar aku lanjut lagi ceritanya kalau gitu.wkwkwkwk

oh  ya foto hasil browsing itu ya, kira2 mirip seperti itulah bangunannya. mirip sekolahnya laskar pelangi yak. hehe

see u next chapter guys,

bye.

-Tari-
Penulis amatir