Jumat, 23 Desember 2016

Desember : Merah Jambu Hingga Jingga




Hai olmaipren...!!!
desember udah pertengahan, orang-orang udah pada sibuk ngomongin liburan, sebagian malah sibuk sama resolusi tahun depan. Kalian sibuk yang mana?

Khusus desember ini saya mau tulis apapun yang melintas di pikiran saya, jujur ini bakalan absurd banget karna postingan blog kali ini bakal berisi curhatan menye-menye, tema yang ga fokus, dan entahlah ini kayak perasaan saya, bercampur, dari merah jambu hingga jingga.

***

Bulan desember kali ini saya mau cerita tentang masa remaja. Akhir - akhir ini saya sibuk membimbing adik-adik remaja di lingkungan masjid kampung kami. Ikatan Remaja Masjid Al-Muttaqiin, itu nama organisasi kami. Kalau dulu saya tergabung untuk jadi anggota dari remajanya, sekarang saya yang malah pelan-pelan membimbing adik-adik remaja. Rasanya tuh seru, jadi berasa muda lagi. wkwkwk

Perayaan maulid nabi yang di masjid kampung kami adakan di tanggal 18 Desember lalu benar-benar menjadi momen buat kebangkitan adik-adik remaja memakmurkan masjid. Semua hal tentang perayaan hari besar Maulid di handle oleh remaja. satu kata buat mereka, Membanggakan.

Harapannya sih ga muluk-muluk ya, semoga adik-adik tetap istiqamah berada di barisan dakwah ini. Aamiin.

***

Bulan desember, mengingatkan saya kembali bahwa di bulan desember tahun lalu saat saya berada di titik paling rendah, hancur lebur perasaan, mengharu biru kenangan. Dan ternyata emang udah setahun hal itu berlalu. Ga tau waktu yang cepat banget berjalan, atau saya yang sengaja mengset-up jalan pikiran buat *jangan di ingat* *terlalu menyakitkan* *terlalu hancur tak berbentuk*
tapi lagi-lagi yah namanya hidup itu penerimaan, saya bisa apa sih sekarang selain mengirim Do'a.

Jadi ingat beberapa hari lalu saya dari makam, waktu itu saya bareng Dinda. Rumput-rumput sudah mulai panjang, beberapa entah itu bunga atau rumput liar. Saya terduduk, mencabuti rumput-rumput. Dan seperti film di putar di otak saya, setahun lalu saya menahan isak tangis saat jasadnya dimasukkan. Sesak itu masih ada.

Saya ga tau gimana proses penerimaan itu berjalan, satu hal saya merasa sudah ikhlas, tapi di lain hal saya merasa tidak mau kehilangan. Ironis memang. Ga tau saya ga bisa jabarin gimana rasanya.  Fisiknya memang sudah tidak ada, tapi di hati saya ada tempat istimewa untuknya.

***

Dari awal bulan saya masih bingung memilihkan sekolah untuk Dinda (sampai sekarang juga belum fix -__-) Seperti di postingan FB saya kapan tahun itu, Dinda request lanjut SMA di jawa, kalau bisa boarding school.
Jadilah saya browsing buka web sekolah-sekolah dari mulai bentuk madrasah / pesantren, sampai sekolah boarding  school umum maupun boarding school berbasis Islam Terpadu.

Nah ternyata guys, browing sana sini, baca ini itu, saya bisa menyimpulkan bahwa biaya pendidikan sekolah di Jawa itu relatif, boarding school untuk SMA di kisaran 15 - 20 juta ini umum ya. bisa dibilang standar harganya memang segitu. Nah tapiiii, makin mewah fasilitas yang dijanjikan berbanding lurus dengan besarnya biaya pendidikan. Adalah sebuah SMA IT di kawasan Jawa Barat, biasanya ini sekolah targetnya kalangan atas, biaya masuknya saja bisa mencapai 100 juta, beeuuhhh.

Sekolah-sekolah di Jawa umumnya sudah buka pendaftaran di akhir tahun begini, awal tahun nanti malah sudah ujian saringan masuk. Malah ada sekolah yang jika februari ini setelah ujian, kuota sudah cukup maka tahun ajaran baru nanti di bulan juli tidak membuka pendaftaran lagi.

Sekolah Islam Terpadu tetap jadi pilihan utama saya untuk Dinda, meneruskan dari SMP yang juga IT. nanti kalau sudah fix Dinda diterima di salah satu sekolah, Saya ceritain lengkap gimana prosesnya. hoho

Mau lanjut masalah sekolah Dinda, tapi saya galau~ dudududu. ganti tema pleaseeee...!!

***

Desember pertengahan bulan, saya baru beli Novel barunya tere Liye, 'Tentang Kamu". Saya review sedikit yaak.


Ga usah terlalu serius gitu lah, ini review alakadarnya aja koq, pakai bahasa santai ala saya, dan tulisan ini dari sudut pandang saya sebagai penikmat karya Tere Liye.

Novel ‘Tentang Kamu’ launching di bulan oktober 2016. Bulan November sudah beredar di toko-toko buku.   Baru beredar di toko buku novel ini udah dapat sambutan hangat dari penikmatnya. Ga perlu nunggu berbulan-bulan, bahkan belum sampai akhir november udah naik cetakan ke 3. Fix, novel ini jadi best seller. Bahkan nih saya harus kecewa berat saat awal desember ke Gramedia Bcs dan kehabisan novel ‘Tentang Kamu’.

Setelah menelpon ke Gramedia Bcs kapan novel  ini restock dan harus puas dengan jawaban “kita belum bisa pastikan ya mba” akhirnya saya meninggalkan nomor hp supaya nanti kalau novelnya sudah ada saya bisa di kabari by SMS oleh Gramedia Bcs, pertengahan bulan desember akhirnya novel ‘Tentang Kamu’ sudah bisa saya genggam erat. Hehe

Harga novel ini seingat saya sekitar Rp 87.000,- terbitan Republika. Saat beli sedang ada diskon di Gramedia Bcs, 15%, jadi lumayan juga,setelah diskon  ga jauh beda dari harga kalau kita beli online di penerbit, sekitar 70an ribu juga. Untuk ukuran 500 lembar ini termasuk harga terjangkau kalau menurutku. Republika berbaik hati memahami kondisi perekonomuian readers kayaknya sih. Wkwkwk.

Melangkah sejenak dari persoalan harga, pertama saya lihat novel ini di medsos saya langsung jatuh cinta sama desainnya. Unik banget, gambar sepatu, jadi ingat lagunya Tulus.

“Kita adalah sepasang sepatu
Selalu bersama tak bisa bersatu
Kita mati bagai tak berjiwa
Bergerak karena kaki manusia
Aku sang sepatu kanan
Kamu sang sepatu kiri”

Lagu favorit aku nih, liriknya bagus, suara Abang Tulus juga enak banget. Duuhh Bang Tulus bisaan banget deh, #Gubraakkk *di timpuk sepatu beneran*

Back to topic, kalau ada orang bilang jangan menilai buku dari sampulnya, ini kalimat benar banget, tapi sampul atau cover buku juga turut menentukan ketertarikan seseorang membeli buku. Dan cover ‘Tentang Kamu’ sukses menarik minat orang banyak. Unik.

Seperti biasa Tere Liye simple banget emang orangnya, tidak ada ucapan di kata pengantar yang bertele-tele, cukup seuntai kalimat ucapan terimakasih yang ditujukan Tere Liye kepada Ibundanya.

Novel ini bercerita tentang kisah bagaimana seorang pengacara bernama Zaman Zulkarnain menemukan ahli waris / surat wasiat dari seorang wanita bernama Sri Ningsih yang meninggalkan harta warisan berupa 1% Saham yang kalau di rupiahkan bisa mencapai 19 triliun Rupiah. Zaman Zulkarnain harus menelusuri kisah perjalanan hidup seorang Sri Ningsih.

 Lewat diary milik Sri Ningsih yang berisi 5 bagian, kalau di novel ini disebut juz. Juz pertama tentang kesabaran , juz kedua tentang persahabatan, juz ketiga tentang keteguhan hati, juz keempat tentang cinta , dan juz terakhir tentang memeluk semua rasa sakit. Dan juz juz ini adalah tema yang ingin diusung dalam novel ini.

Punya alur maju mundur cantik, eh maksudnya alur maju mundur aja ga pakai cantik, kita beneran seperti merasakan bagaimana kehidupan di era tahun 60an – 2016. 

Belum seperempat halaman, saya sudah terisak membaca bagian Sri Ningsih punya masa kecil yang mengaharu biru. Terlahir sebagai piatu, Ibu kandung Sri meninggal saat melahirkan Sri ke dunia, lalu menjadi yatim saat berumur 9 tahun, kemudian harus hidup dengan ibu tiri yang kejam. 

Nah ini kelemahan saya kalau baca novel yang menceritakan kehidupan keluarga, cepat banget sensitif deh ini hati. Ga tega membayangkan masa kecil Sri Ningsih. 

Dari novel ini saya juga jadi tau Indonesia itu amazing banget, salah satunya tentang Pulau Bungin, di Sumbawa, NTB. Pulau dengan penduduk terpadat di dunia. Takjub banget lihat ini pulau, sangking padatnya sampai tak terlihat lagi tanahnya mana, hahaha. Bahkan untuk menguburkan jenazah saja harus menyebrang ke Tanjung Darat. Nah kalau mau lihat kambing makan kertas ya cuma di Pulau Bungin aja nih adanya. (di atas ada ya penampakan Pulau Bungin, sumber dari https://www.vebma.com/media/bungin3.jpg )

Kembali pada lanjutan kisah Sri Ningsih di Pulau Bungin yang berakhir mengenaskan, Sri Ningsih dan adiknya Tilamuta melanjutkan hidup di wilayah Jawa Tengah, di Surakarta lebih tepatnya. Di sebuah pesantren, pun sama kehidupan Sri Ningsih di Surakarta juga berakhir dengan kenangan pahit, pengkhianatan, kekejaman PKI. 

Sri Ningsih memutuskan pindah ke Jakarta sekitar tahun 70’an, merintis dari nol, hingga sukses dan punya pabrik pembuatan sabun mandi. Sampai suatu hari Sri memutuskan menjual pabriknya dan pindah ke London. Kemudian di awal 2000’an Sri pindah ke Prancis.

Novel Tere liye selalu punya pesan moral dan makna yang dalam, nah kalau di novel ini kita akan belajar bagaimana seorang Sri Ningsih yang punya hati baik banget, tidak pernah membenci walau sedebu, tidak pernah berprasangka buruk walau setetes.

Saya ga bisa detail ceritakan perjalanan hidup Sri ya, sengaja sih. Biar kalian penasaran. Wkwkwk. Seperti yang saya bilang diawal tadi, ini sekedar review. Bukan Sinopsis atau resensi.
Jadi terimalah review alakadarnya ini. wkwkwkwk.

Eh tapi ini serius, Saya recommended pakai banget novel ini buat semua kalangan. Bahasanya mudah dipahami dan sarat makna pastinya. Ga nyesel pokoknya invest novel karya Tere Liye. Oh ya yang mau minjem juga boleh, tapi ngantri yaak, terakhir sih urutan minjam masih sama adik saya yang belum selesai baca.

***
Akhir kata terimakasih sudah mampir dan baca sampai akhir.

Desember, Saya punya sajak sebelum menutup cerita absurd bulan ini.

Kalau hati manusia bisa kau baca layaknya tulisan,
Tentu mudah bagimu mengartikan kegelisahanku kawan.

Ada yang rawan, selalu ku coba walau penuh cobaan.
Untuk apa menghindar, karna rela bisa jadi adalah keikhlasan.

Beberapa berkata ini semua beban,
Padahal tak sejumput pun ada tanyaku apalagi keraguan.

Supaya semua tau aku sedang belajar melepaskan,
Sejatinya ini semua tentang penerimaan.

Batam, 23 Desember 2016 

-Tari- 






Sabtu, 26 November 2016

Jatuh Cinta Sendirian





Hai Olmaipren, 
Tampilan blog berubah yee.. Pink-pink gimana gitu, biar lebih apa ya? girly maybe. hahaha :D 
 
Bulan ini aku balik lagi dengan 1 cerpen hasil curhatan dengan sahabatku. ini kisah nyata. nama dan lokasi kejadian disamarkan. Silahkan dinikmati & semoga menghibur ^_^

****

Range Waktu 2010 - 2014

Aku hanya bisa menatap punggungnya pergi menjauh, rasanya campur aduk setelah pertemuan ini.
masih belum rela aja kalau dia cepat-cepat pulang, belum puas aja ngobrol berbagi cerita dan rindu? 
Rindu? Ah yang benar saja, membuatku malu saja untuk mengakuinya.

"Masuk, segera kembali ke kamarmu...!" hardikan keras mengagetkanku.

Galak banget emang penjaga asrama. Ya begini  nasib kalau tinggal di asrama. Kadang aku heran ini aku tinggal di asrama atau di penjara sih? Hahaha.

Sebagaimana menyebalkan aku kuliah disini sebesar itu jualah aku mencintai kampusku ini. Setahun lalu aku memutuskan melanjutkan kuliah di ibu kota provinsi, jauh dari orangtua, tinggal di asrama, demi jurusan kuliah idaman, demi mewujudkan cita-cita mulia. (Sorry guys, saya ga bisa umbar data pribadi sumber ya, privasi katanya. Termasuk jurusan kuliah dan kampus, biar misterius katanya, wkwkwk).

Keputusan besar itu otomatis jadi jalan cerita baru buat aku dan dia. Antara semakin dekat atau malah semakin jauh. Aku segera membuka bingkisan yang tadi dia berikan. Ga usah mikir yang aneh-aneh deh. Ini bingkisan titipan Mama, sengaja dititipkan ke dia karna dia lagi ada urusan di Ibu Kota Provinsi, jadi dia bukan sengaja mau nemuin aku kan disini? Dia cuma mampir. Ingat. Cuma mampir. Please hati jangan GR dulu. 

Drrrttt... drrrttt...

Hp ku bergetar, tanda SMS masuk.

“Maaf tadi gak bisa lama ya dek. Abang masih ada urusan lain. Titipannya mama aman kan? Tadi di kapal rame banget, barang penumpang ditumpuk semua. Gak rusak kan dek?” 

Rusak banget bang. Lihat aja ini snack hancur begini. Keripik ubi kenapa jadi remahan begini.

Tapi aku ga mungkin balas gitu ke dia.

“gak rusak bang. Makasih ya udah mau nganterin. Maaf ngerepotin abang jadinya.” 

“Gpp dek. Gak ngerepotin koq. Oh ya kamu kurusan ya sekarang dek?”

Jelaslah aku kurusan bang, tiap hari mikirin kamu. 

Tapi aku ga mungkin balas gitu ke dia.

“hehehe. Masa sih bang adek kurusan? Padahal makan ku banyak lho. Ngomong2 abang kapan pulang ke Batam? Nginep atau pulang hari?”

“Kamu jangan terlalu stres mikirin kuliah. Enjoy aja. Jangan lupa jaga kesehatan terus ya. Abang pulang hari dek, besok masuk kerja juga, mana bisa nginap.”

Aku buru-buru mengambil satu buku yang sengaja aku selipkan di bawah bantal. Aku menyalin semua obrolan kami di SMS ke buku catatan ini. Terdengar aneh ya? HP jadulku ini, alias HP dengan layar hitam putih ini mana punya memori, kotak masuk penuh, SMS baru tidak bisa masuk. Jadilah aku menyalin semua percakapanku dengannya di buku ini. Dan aku bakal senyum-senyum sendiri kalau baca isi buku ini. Biasanya sebelum tidur aku baca buku ini, sambil agak berharap,” hadir di mimpi aku malam ini bisa bang?”

Drrrttt... drrrttt...

Drrrttt... drrrttt...

HP ku tidak berhenti bergetar diatas meja. Dengan mata tertutup aku meraihnya cepat. Pukul 02.30.

“halo, assalamu’alaikum”

“wa’alaikumsalam. Tahajud dek. Ayo bangun”

“iya 5 menit lagi”

Aku tanpa sadar memencet tombol merah di HP.

Drrrttt... drrrttt...

Drrrttt... drrrttt...

Aku menekan tombol hijau, tapi tidak langsung bersuara.

“Udah bangun dek? Ayo bangun dulu dek, sholat dulu”

Dia sudah lebih dulu menginterupsi, selalu begitu. Dan jangan heran, dia akan selalu menelponku hingga aku benar-benar bangun dan sholat. 


****


Bohong kalau aku mengaku tidak senang dengan semua perhatian dia. Aku senang. Pakai banget. Seperti pagi ini, ujian tengah semester, dan satu sms di pagi hari dari dia benar-benar moodbooster buat aku. Dia manis, hatinya, eh wajahnya juga. Duh aku selalu bingung bagaimana mendeskripsikan fisiknya. Dia lebih tinggi dari aku, rambutnya lurus, dan namanya begitu hangat terukir di hatiku.

Aku dan dia, entahlah sebutannya apa. Pacar? Jelas bukan. Adik? Hah itu lagi. Adik ketemu gede? Hahaha. Kami sahabat dekat. Emang ada sahabat tapi gak dekat? Hah aku bingung sendiri jadinya.

Aku jadi membayangkan kisah awal pertemuan kami. Aku dan dia bertemu di sebuah organisasi. Awalnya tidak ada perasaan apapun. Tapi rasa suka bisa tumbuh karena terbiasa. Seperti pepatah jawa itu lho, witing tresno jalaran songko kulino. Singkat cerita kami jadi sering berbalas pesan. Cerita seputar organisasi sampai hal pribadi. Curhat. Minta saran. Bahkan hal sepele tentang nama kucingku saja dia tau.

Dia perhatian. Baik. Rajin sholat berjamaah. Sopan juga kepada kedua orangtuaku. Aku yang notabene anak pertama perempuan, seperti terjerat sendiri pada sosoknya, aku yang awalnya hanya menganggap dia sebagai sosok abang, harus sesak sendiri sekarang. Ah sepertinya aku beneran sayang sama abang.
Ahh tidak. Aku geleng-geleng kepala sendiri. Sepertinya aku bukan hanya sayang. Aku terlanjur jatuh. Jatuh cinta.


****


Satu hari aku dan teman-teman asrama sedang sibuk di dapur, jadwalku untuk masak. Hari ini minggu. Perkuliahan libur. Baiklah biar aku yang pegang kendali dapur hari ini. 

Drrrttt... drrrttt...

Drrrttt... drrrttt...

Aku cepat mengambil HP di kantong, mungkin mama yang nelpon, ini kan minggu mama biasanya sering nelpon kalau hari minggu.

“Halo Assalamu’alaikum”

“Wa’alaikumsalam adek”
 
Ehh aku mendelik sendiri melihat Hpku dan langsung tersenyum lebar saat tau dia menelponku.

“ehh abang, kirain mama tadi bang yang nelpon”

“ooh, abang ganggu gak nih?”

Aku melirik masakanku di wajan yang hampir matang.

“gak kok bang. Kenapa? Tumben siang nelpon?”

“Gak apa-apa sih. Kangen aja pengen dengar suara kamu”

Bluuusssshhh... Pipiku merona. Untung jaman itu belum ada video call jadi dia gak bisa lihat pipiku yang sudah semerah tomat ini. Baru dikasih gombalan receh doang padahal. Ya ampuuunn.

“hehe.. bisa aja sih abang”

Mendadak suaraku berubah agak kalem n sok imut. Khas cewek-cewek kasmaran.

“hehe.. lagi ngapain kamu dek? Berisik banget kayaknya”

“iya nih bang, lagi di dapur. Hari ini aku masak”

“waahh.. masak apa?”

“Capcay, tapi gak ada seafoodnya, sayur semua”

“Tau emangnya kamu bumbunya capcay apa aja?”

“Abang iiihh, tau laahh...”

Lagi suaraku kedengaran sok manja dan sok imut. Dan percakapan di telepon itu pun berlanjur lama.
Sampai akhirnya dia mengakhiri percakapan karna udah masuk waktu zuhur dan dia mau ke masjid.

“yeeeiii dia telpon aku.. dia kangen suaraku katanya.. dia telpon akuuuu” aku berteriak girang tanpa sadar ternyata HP ku masih tersambung dengannya. Dia belum mematikan panggilan telponnya. Itu artinya dia denger dong aku teriak? OH MY GOODDD...!!!


****

Aku mendadak memutuskan balik ke Batam. Hari ini dia ulang tahun. Tadi malam aku bela-belain begadang sampai jam 12 malam, buat sms dia ngucapin selamat ultah, buat jadi yang pertama ngucapin tentunya. Dan sekarang aku sudah di kapal tujuan Batam. Ada acara syukuran malam ini dirumahnya, dan dia tidak tau kalau aku pulang. Surprise.

Aku bisa lihat rona wajah bahagianya, today is his birthday, of course he is so happy. Bukan karena ada aku aja sih terus dia happy. Bahkan sedari tadi dia belum ngobrol sama aku. Banyak tamu lain yang mau disapanya mungkin.

Aku bertemu beberapa teman, mereka malah yang tak menyangka aku juga hadir di ulangtahunnya. Yeah selama ini aku tinggal jauh diluar kota, itu yang mereka tau. Aku hanya bisa menjawab bahwa aku memang sedang libur dan kebetulan sedang tidak ada kegiatan jadi pas diundang ya hadir.

Padahal, apa kabar persiapan ujianku lusa ya, aku meringis sendiri mengingatnya.


****


Jatuh cinta itu indah katanya, and I feel like that. Kayaknya pusaran dunia aku semua ada dia. Setelah acara ultah itu hubungan kami makin dekat. Dalam artian makin intens berkirim pesan. Yah sejauh ini sih aku bahagia bersamanya. Dia makin perhatian. Dan aku suka. Sesimple itu sih ya.

Beberapa orang terdekatku, seperti keluarga dan kawan sekamar di asrama, sejauh ini malah memandang aku dan dia memang sedang menjalin hubungan. Walaupun berkali-kali aku menyangkalnya. Tapi bagaimana mereka tidak semakin berspekulasi tentangku dengannya kalau setiap aku menatap HP untuk membaca SMSnya wajah berseri-seri dan pastinya aku selalu senyum-senyum sendiri.

Argh... virus merah jambu benar-benar merasukiku. 

****

Waktu terus berjalan. Kadang ada masa dimana aku dan dia tidak berkirim pesan selama beberapa hari. Kesibukan masing-masing dari kami alasannya. Aku dan semua tugas kuliah dan ujian ini, dia dan semua kegiatannya, kuliahnya, kerjaannya. Tapi bisa dibilang kami tidak sampai lost contact. 

Akhirnya masa luang itu tiba, libur puasa dan lebaran. Aku pulang ke Batam dengan perasaan senang. Dan bahagianya dia juga sudah menyelesaikan pendidikan S1nya beberapa waktu lalu dan fokus mengajar di sebuah sekolah di Batam. 

Tapi terkadang apa yang kita harapkan malah tidak sesuai harapan. Dengan berat hati aku harus bilang kalau dia berubah. Dia sudah sangat jarang membalas pesan-pesanku. Aku pun tak tau dia kenapa. Singkatnya kami saling menjauh. Yah aku sih awalnya biasa aja, karna bulan puasa kan dirumah pula, jadi lebih fokus ibadah.

Sampai satu hari di awal ramadhan itu dia mengirimiku pesan, bertanya tentang ta’aruf dan kami sharing masalah ta’aruf ini. Kami tidak hanya membahas tentang ta’aruf saja, tapi juga lamaran dan pernikahan.
Coba deh kalau kalian jadi aku, pasti merasa GR kan kalau ada seorang laki-laki yang mengajak kita membahas masalah ini. Nah sama, aku juga udah senyum-senyum sendiri. Tapi kan aku masih kuliah, mana mungkin dia mau melamar aku sekarang? Hahahaha. Ada-ada saja.

Aku ingat sekali saat itu, 3 hari sebelum lebaran. Aku sedang santai dirumah sore itu, dan salah satu teman bertamu kerumah, menyampaikan sebuah surat undangan yang ditujukan kepada Bapakku. Aku memandang sekilas undangan itu untuk melihat siapa yang menikah di hari orang-orang masih merayakan lebaran idul fitri?
Mendadak tanganku dingin, kaki terasa kebas. Jangan tanya hati, sudah terbanting hancur tak bersisa. Di undangan itu, tercetak jelas namanya dan nama perempuan entahlah siapa. 

Sedih? Pasti.

Kaget? Apalagi.

Patah hati? nah hal ini yang aku lupa kalau berani jatuh cinta harus berani patah hati.

Tunggu, tunggu dulu aku harus berpikir jernih. Ya bahkan aku lupa bernafas tadi sangking kagetnya.  Aku menghembuskan nafas dengan berat. Aku melangkah masuk ke kamar. Menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Aku lihat lagi undangan di tanganku ini.

Namanya dan nama perempuan entahlah siapa.

Kalian pernah tidak tiba-tiba merasa sesak, dada seperti di timpa gumpalan besar dan berat. Sesak dan menyakitkan. Tapi tidak bisa menangis. Aku. Aku merasakannya sekarang. 

Aku melangkah ke meja rias. Duduk di kursi depan meja rias. Bergetar tanganku membaca huruf demi huruf di undangan itu. Menunduk dengan sesak. Saat itulah. Saat mataku memanas, butiran bening itu meluncur jatuh di undangan, menyusul butiran bening lainnya, melunturkan tulisan di undangan itu. Hp ku bergetar.

Drrrttt... drrrttt...

Dengan tangan bergetar kubuka Hpku. 

“Dek, udah dapat undangan nikahan abang kan? Kamu datang ya pas akad, di masjid dekat rumah”

Aku lemas, menelungkupkan wajahku di meja rias. Aku menangis sesenggukan.


****


Kalau saat jatuh cinta perasaan akan dibawa terbang ke awan, berwarna indah sekali. Maka saat patah hati, perasaan seperti dihempaskan dari ketinggian. Hancur tak berbentuk. Saat lebaran tiba pun aku merasa jadi lebaran paling berat yang kurasakan.

Hari H itu tiba, suara-suara dari masjid terdengar jelas di rumahku. Aku masih bergelung dengan selimut saat itu. Malas sekali rasanya beranjak dari kasur. Hingga saat suara penghulu bertanya apakah calon pengantin laki-laki sudah siap, “Saudara Fian Adrian saya nikahkan engkau dengan ......”

Aku bangkit dari kasur, menyambar jilbab di gantungan. Berlari keluar rumah menuju masjid. Sambil berlari aku masih mendengar dengan jelas dia berucap “Saya terima nikahnya Nora Bin...........”

Aku sampai di pintu masjid saat penghulu memimpin do’a.

Selesai. Semua sudah selesai. Berakhir. 

Selama ini ada satu hal yang baru kusadari saat aku ikut terduduk di barisan belakang tamu undangan.

Sambil menunduk seolah ikut berdo’a, aku sadar satu hal. Selama ini aku hanya,  

Jatuh Cinta Sendirian.


****

*Author Pov* November 2016.


“Gitu ceritanya Mbak. Miris kan?”, Sania menunduk sambil mengaduk minumannya yang aku rasa teh hangat itu sudah dingin sekarang. Tentu saja, Sania curhat sudah dari 2 jam lalu.

“Sedih banget ya ceritaku Mbak, sampai Kamu ga bisa komen gitu?”, tanyanya lagi.

“Aku, duuuhhh, aku...” aku kehabisan kata-kata.

“Aku speechles banget Sania”

“Fian sama Kamu San. Serius aku gak tau kalau kalian pernah sedekat itu”, aku masih bingung harus menjawab apa.

“Hahahaha, muka kamu Mbak. Aneh banget kalau bingung gitu”, Sania malah berseloroh mengomentari wajah bingungku.

“Heh, ga usah mengalihkan pembicaraan ya San”, aku mendelik ke arah Sania.

“Kamu masih kenal Rudy kan Mbak? Nah Si Rudy tuh yang sering nemenin dia kalau pas main kerumah aku. Setiap lebaran dia selalu ke rumah aku waktu itu Mbak, ya ditemenin si Rudy”, Sania mengalihkan pandangan ke arah kanan. Aku rasa dia menahan sesuatu. Apa? Air mata ku rasa.

“San, sorry aku beneran gak tau kalau kisah kamu sama dia sedrama ini”, aku menyentuh tangan Sania.

“It’s Okay Mbak, emang ga ada yang tau kan, kecuali keluarga. Atau sama si Rudy tu. Aku yang malu kalau ketemu Rudy, jadi teringat dia dan masa lalu, hahahaha”, Sania menjawab santai.

Ahh Sania. Dibalik tawanya aku jelas tau ada hati yang pernah terluka. Tapi Sania ini memang tipe orang yang apapun masalah pribadinya dia selalu tampil senyum di hadapan semua orang. Kayak orang hidup gak pernah ada beban aja. Tapi sesama perempuan, aku jelas tau bagaimana hati itu sakitnya.

“hahaha. Udah move on lah ya ceritanya San?”

“Udah lah Mbak, hahaha”

“Iyalah udah jadi suami orang tu. Udah jadi bapak orang lagi. Hahahaha. Berapa sih anaknya dia sekarang?”
“Gak tau aku Mbak”, Sania seolah menjawab cuek.

“Ahahaha. Iya deh yang udah move on. Eh tapi San, pernah gak sih kamu baper kalau misal lagi online lihat status dia di FB atau foto dia gitu di Istagram?”

“Gak tau ya Mbak, aku gak follow instagramnya dia sih, gak tau deh dia punya istagram atau gak. Lagian apaan sih kamu Mbak nanya gitu. Aku udah move on ya. Masa lalu itu”

“Kayak lagu apa gitu ya San. Masa laluuu...”

“Biarlah masa lalu, jangan kau ku ungkit jangan....” Sania malah menyaut dan menyanyikan lagu itu.
“Astaghfirullah. San, San, udah San. Malu sama jilbab lebar nih”

“hihihi. Iya Mbak. Mbak sih mancing aja, udah tau aku paling gak tahan kalau udah nyanyi dangdut begini”

“Hahahaha”

“Kalau udah hijrah begini ingat masa lalu aku jadi malu sendiri mbak. Segitu butanya gara-gara virus cinta. Astaghfirullah. Kok bisa sih aku kayak gitu Mbak. Beneran waktu itu aku gak tau kalau yang aku lakukan itu salah”, Sania terlihat menyesal sekali.

“Sudahlah San. Semua orang pasti punya masa lalu. Semua orang kan berproses. Untuk jadi muslimah sejati kan gak bisa ujuk-ujuk jadi. Ada prosesnya. Ada jalannya. Jodoh juga gitu kan, kalau mau jodoh yang benar ya jalannya harus benar”, aku mencoba menyemangati Sania.

“Iya Mbak. Lagian laki-laki yang baik ya untuk perempuan yang baik, begitupun sebaliknya. Jadi sekarang ya terus memperbaiki diri ya Mbak?”

Iya San, tapi balik lagi ke niat kamu. Memperbaiki dirinya ikhlas karena Allah ya. Bukan karna mau dapat jodoh yang sholeh aja

“Hahahaha Iya Mbak. Iya aku paham kok”.


****

Jatuh cinta sendirian itu memang menyakitkan. Merasa jatuh, sendirian pula. Zaman sekararang, orang-orang yang jatuh cinta begitu berisik di media sosial. Mulai dari saling kasi kode, sampai galau dan tiba-tiba bisa merangkai kata-kata romantis.

Padahal ya kalau kita mau merujuk kisah cinta paling romantis  itu justru cintanya saling terpendam, tidak ada satupun yang tau kecuali yang Maha Tahu, Allah SWT. Seperti kisah cintanya Ali dan Fatimah, anak Rasulullah. Bertahun tahun tak terendus wangi cinta di hati masing-masing mereka. Tersimpan rapat di hati masing-masing. Ali yang menyimpan sendiri perasaannya, begitupun Fatimah. Sampai akhirnya Allah menunjukkan jalannya kepada Ali lewat pinangan bermodal baju besi. Rasulullah SAW menerima dengan suka cita lamaran Ali atas putri kesayangannya. 

Makanya malu sendiri zaman sekarang kalau jatuh cinta dan sibuk mengumbar di media sosial. Gak mau pacaran, tapi sering bikin status ngasih kode biar cepat dilamar, berharap doi baca gitu? Dan parahnya doi gak peka. #Gubraakk..!!! mana sisi romantisnya???? Gak bisa kan kayak Fatimah yang mendam rasa cintanya ke Ali, di pendam dalam sekali, sampai setan aja gak tau kalau Fatimah ada hati ke Ali. Bisa gak kayak gitu? *Berat coy* Gak bisa emang kalau mau nyamain kayak Fatimah, tapi setidaknya pelan-pelan lah perbaiki diri, jaga hati, jaga pikiran juga.

To Sania, Thanks for sharing ur story. Jadinya gini lho. Maklumin lah ya kalau tata bahasaku di awal agak gimana gitu. Menyesuaikan sama bahasa anak remaja di masa itu. Hahaha. 

Aku banyak belajar sih dari kisah ini, kalau jatuh cinta itu sejatinya tentang diri kita dan perasaan kita sendiri, kan hati diri kita sendiri yang jatuh. Belum tentu hatinya dia juga jatuh. Ngerti gak? Gak ya? Sama aku juga bingung, hahahaha.

Trus ya perempuan itu sifatnya baperan. Kalau bahasa aku di cerita ini sih GR (gede rasa) alias baper (bawa perasaan). Bisa aja si Fian ini emang baik ke semua orang, emang perhatian ke semua orang. Ada lho tipe lelaki seperti ini. Dibilang tebar pesona, tapi ya gak gitu juga. Dibilang gak tebar pesona, tapi hobbynya perhatian ke cewek. Hadeehh.  Intinya ini tipe pria yang emang paling bisa naklukin hati perempuan.Nah lemahnya perempuan ya gitu. Dikasi perhatian dikit ya langsung deh, merasa nyaman dan berakhir jatuh cinta.

Namanya juga jatuh, ya sakit. Coba Bangun Cinta, kan ga sakit ya? #Apaan sih? Huahahaha.
Udah gitu aja deh cerita di blog aku untuk bulan ini. Thanks for reading ya olmaipren. Maaf kalau ada Typo dan salah kata. See U on next story ya guys...

-Tari-
Orang biasa yang suka nulis dan baca~

Selasa, 18 Oktober 2016

CERBUNG : BU GURU - CHAPTER III - BU GURU CENGENG



CHAPTER III - Bu Guru Cengeng




 
Hai olmaipren,

Kalau kamu baca Chapter III ini saya harap kalian juga baca chapter I dan II ya, biar nyambung ceritanya, yah namanya juga cerita bersambung.

Semua kisah hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama dan tempat lokasi kejadian itu hanya sok taunya penulis amatir ini saja. Hehe.

Enjoy this chapter ^_^

****

Sepanjang perjalanan pulang aku hanya diam menatap keluar jendela. Bukannya aku tidak tau sedari tadi Radit mencuri-curi pandang kepadaku. Seperti ada yang mau ditanyakannya. Mungkin karna melihat aku hanya diam saja akhirnya dia juga segan sendiri.

Aku masih membayangkan rentetan kejadian hari ini. Seperti kaset yang terus di ulang-ulang di kepalaku. Aku kembali menyeka air mata yang lolos begitu saja ketika terbayang wajah anak-anak polos itu. Satu hal yang baru aku sadari dari profesi baruku ini. Aku belum cukup kuat mental menghadapi ini.

“Indi...”, Radit memanggilku pelan.

Aku belum mau menoleh atau menjawabnya. Aku masih sibuk menyeka air mata yang lagi-lagi bisa lolos walau sudah sekuat mungkin ku tahan.
 
“Indi...”

“Indi, sebenarnya saya tau siapa di balik kejadian semua ini”

Aku terkejut, berpaling cepat menatap Radit. Menatapnya tajam seolah bertanya. Siapa?

Mobil berhenti, lampu merah. Radit balik menatapku juga.

“Pak Jay”, katanya lirih. Lirih sekali hingga aku merasa salah dengar.

“Apa?” aku bertanya seolah ragu dengan pendengaranku.

Radit diam saja.

“Radit kamu bilang apa? Siapa yang ngelakuin ini semua?”

Radit masih diam.

“Radit kamu serius? Pak Jay? Pak Jay yang bawa pompong di penyebrangan?”

Radit hanya menjawab dengan anggukan. Dia kembali menjalankan mobil. Lampu hijau.

Aku menghembuskan nafas frustasi. Pikiranku berkecamuk. Untuk apa pak jay melakukan ini semua? Kenapa dia tega? Sejahat itukah pak jay?

Tunggu dulu. Kenapa Radit tiba-tiba bisa berkesimpulan Pak Jay yang melakukan pembakaran? Bukankah tadi pagi aku naik pompong yang dibawa Pak Jay? Lalu bagaimana bisa Pak Jay yang melakukan.

“Pak Jay memang bukan melakukannya secara langsung, tentu saja komplotannya yang melakukan itu”. Radit seperti bisa membaca pikiranku.

“Tadi pagi Pak Jay masih bawa pompong kan di penyebrangan?” tanya Radit.

Ku jawab dengan anggukan.

“Kalau dugaan saya benar, berarti komplotannya Pak Jay membakar semak dibelakang sekolah. Angin kencang yang membawa api cepat menyambar bangunan sekolah kayu itu”.

“Kenapa?” aku memotong penjelasan Radit.

“Kenapa Pak Jay tega sejahat itu?” aku berkata pelan, membuang muka ke arah jendela. Mencoba menutupi emosi. 

....................................................


****


“Thanks dit”, aku turun dari mobil.

“Iya sama-sama, besok pagi kita ke pulau itu sama team yang lain. Kita ketemuan di pelabuhan penyebrangan.” Radit mengingatkan.

Aku hanya menjawab dengan anggukan. Lalu berjalan cepat masuk kedalam rumah.

kalian pasti pernah dengar orang bilang hidup itu kayak naik roller coaster. Kadang dibawah kadang di atas. Perasaan belum lama aku punya kegiatan rutin yang gitu-gitu aja. Ngantor, meeting, ikut seminar, makan siang dengan klien, pulang kerumah, tidur, terus paginya berangkat ngantor lagi dan begitulah selanjutnya. Lalu semua berubah, pagi sekali aku sudah menunggu pompong di penyebrangan, jalan kaki beberapa meter untuk sampai di sekolah, disambut anak-anak dengan wajah polos ceria mereka, lalu wajah polos ceria itu berganti tangis dan muram, entahlah besok masih adakah anak-anak yang menungguku datang di sekolah yang tinggal abu dan puing?

Di dunia ini kawan kalau ada yang bisa mengalahkan kebaikan dan kedamaian itu adalah hawa nafsu. Sebut saja nafsu ingin memiliki, nafsu ingin menguasai.  

Di dunia ini kawan kalau ada penyakit paling kronis itu adalah penyakit hati, iri dengki. Kesal melihat orang bahagia. Senang melihat orang terluka.

Seperti Pak Jay. Ah rasanya aku malas sekali sekarang menyebut namanya. Siapa yang menyangka dia berada dibalik semua kejadian ini? Siapa yang menyangka lelaki berperawakan kurus tinggi hitam yang biasanya ramah itu sebenarnya licik dan jahat? Lelaki yang biasa menyapaku ramah, yang sering menolak kalau kubayar ongkos pompongnya, yang bilang bangga pada anaknya yang mau sekolah lagi, atau kalian masih ingat kejadian tadi pagi saat di pompong hujan deras dan angin kuat, Pak Jay memberiku safety jacket karna ia tau aku takut dan tak bisa berenang. Seperti Pak Jay bukan Pak Jay. Jadi siapa sebenarnya Pak Jay?

Drrrtttt....... Drrrtttt....... Hp ku bergetar, membuyarkan lamunan absurd tentang siapa sebenarnya Pak Jay.


From : +628136452XXXX
Pak Jay sudah diamankan polisi.
Dia dan komplotannya terbukti membakar sekolah.
Besok pagi kamu harus kekantor polisi untuk memberi keterangan sebagai saksi.
Setelah itu baru ke pulau.
Saya jemput besok pagi.

-R-

Siapa R? Sok inisial. Aku mengetik cepat untuk membalas pesan masuk ini.


To : +628136452XXXX
Ini Radit ya?


Pesan masuk kembali.


From : +628136452XXXX
iya ini Radit.
Dugaan saya benar, ind.
Yasudah kamu sebaiknya istirahat dan jangan banyak berpikir lagi.


Aku membaca datar pesan-pesan Radit. Berkali-kali ku baca. Dugaannya benar. Pak Jay Pelakunya. Lalu apa alasannya juga benar? Kalian mau tau apa penjelasan Radit di mobil tadi waktu kutanya kenapa Pak Jay tega melakukan ini. 

Pak Jay sama seperti warga kebanyakan di pulau itu, selain sebagai petani kelapa, Pak Jay juga membawa pompong di penyebrangan. Beberapa bulan lalu orangtua Pak Jay meninggal. Anak-anaknya berebut harta warisan dari orangtua. Pak Jay yang ternyata cuma anak angkat dikeluarga itu hanya bisa menerima ketika pembagian harta ia diberi tanah sepetak yang diatasnya berdiri sekolah kayu. Entahlah bagaimana ceritanya tanah bagian Pak Jay itu sebenarnya sudah pernah dihibahkan orangtuanya untuk di dirikan sekolah. Semua orang tau kalau tanah itu sudah dihibahkan untuk dibuat sekolah. 

Pak Jay kesal karna tidak mendapatkan harta warisan apapun, karna akhirnya sekolah kembali beroperasi. Belum lagi ia seringkali merasa iri kepada kakak-kakaknya yang mendapatkan warisan lebih banyak. Rencananya sebelum sekolah kembali beroperasi bangunan kayu itu mau dijualnya, sekalian tanahnya juga. Sudah ada juragan yang mau membeli untuk dijadikan gudang kelapa. Lalu team relawan datang dan musnahlah semua harapan Pak Jay. Seiring kan sekarang dengan musnahnya harapan anak-anak untuk bisa tetap sekolah. Dunia ini begitu lucu kawan, iri dengki bisa berubah jadi amarah, bahkan yang tak salahpun terkena imbasnya.

Berkat bantuan komplotannya, Pak Jay sengaja membakar sekolah. Tujuannya ia ingin menguasai kembali tanah sekolah itu. Beberapa kali juragan kelapa mendesaknya untuk segera menjual tanah sekolah tersebut. Lagi ku bilang kawan, dunia ini begitu lucu, manusia begitu bodoh menjadi budak nafsu.


****


Singkat cerita, hari ini, tepatnya pagi tadi Radit menjemputku. Ia menemaniku ke kantor polisi, aku dimintai keterangan terkait saksi kebakaran. Lalu sekarang kami berada di atas pompong, membelah lautan untuk kembali ke pulau. Semakin dekat dengan pulau dadaku seakan bergemuruh, aku takut membayangkan kebakaran semalam. Aku rasanya tak kuat melihat wajah polos anak-anak yang muram. Tapi kurasa anak-anak pulau ini berbeda. Lihatlah kawan, siapa itu segerombol anak-anak yang duduk di tepi pelabuhan. Mataku berbinar, tak sabar rasanya dikerumuni mereka kembali. Mereka menungguku kan? Benar menungguku kan?.

“Benar kok, anak-anak memang nungguin kamu tuh”, Radit bergumam disampingku. 

What? 
Radit bilang apa? Aku sedari tadi tidak bicara apapun lho, aku sibuk dengan pikiranku. Ya ampun ini si Radit kenapa bisa baca pikiran aku.

“Bu guru datang... Bu guru datang.....!!!” Teriakan anak-anak mengembalikan fokusku. Mereka melompat-lompat kegirangan. Pompong merapat ke pelabuhan, aku berdiri segera menaiki tangga kayu menuju atas pelabuhan. Anak-anak itu berlari menghampiriku, lantas memelukku begitu saja. 

Kawan, ini yang tak pernah aku dapatkan selama menjadi pekerja kantoran. Kasih sayang tulus dari anak-anak yang bahkan baru mengenalmu seminggu saja.

“Kami kira bu guru tak datang lagi”

“ibu datang” aku menjawab pelan.
 
“Ibu harus tetap datang mengajar, kami belum lancar membaca bu”
 
“iya nanti kita belajar baca lagi ya”, jawabku sambil menyeka airmata terharu.

“Ibu, si Rofiq tak mau sekolah lagi katanya. Tadi malam Bapaknya ditangkap polisi”

“Bu guru, ternyata yang bakar sekolah kita bapaknya si Rofiq”

“Bu guru, kami tak mau kawan dengan Rofiq lagi, anak penjahat macam dia biar aja tak punya kawan”

Aku terkesiap. Rofiq. Anaknya Pak Jay.

Rofiq anak yang pintar sebenarnya, dibanding anak-anak lain Rofiq lebih cepat menangkap pelajaran. Sekarang anak itu yang harus menanggung beban sosial akibat perbuatan bapaknya.

Kawan, ternyata urusan ini rumit akhirnya. Aku harus gimana sekarang? Menemui Rofiq atau membiarkan saja Rofiq dan beban sosialnya?

“Nanti kita temui Rofiq dan Ibunya. Yang jahat bapaknya bukan anaknya. Kamu ga tega kan anak sepintar Rofiq putus sekolah?”, Radit entah sejak kapan sudah berdiri disampingku.

What? 
Radit bilang apa tadi? Nah lagi kan, dia bisa baca pikiran aku. Oke fix Radit kayaknya keturunan cenayang.

Aku menatap Radit dengan ekspresi paling aneh yang aku punya.

“Saya bukan keturunan cenayang. Ekspresi kamu itu terlalu mudah untuk saya tebak. Jadi relawan itu harus tangguh. Tidak hanya secara fisik, psikis kamu juga. Dasar cewek, cengeng. Bu guru cengeng”. 

Kawan, bisa kasih aku waktu buat mikir. Kayaknya aku perlu waktu untuk membalas kata-kata Radit. Enak saja dikatainya aku cengeng. Walau emang sih kenyataannya aku memang cengeng, tapi kan ga di omongin di depan anak-anak juga kali. Jelas saja anak-anak langsung mentertawakanku. Aku kan maluuuuuuuuuu............


****


Selesai-Finish-Tamat.



****

Akhirnya chapter III selesai. Kalau ada yang tanya kenapa Cuma tiga chapter doang cerita bersambungnya? Itu karna aku ga mau kalian bosen olmaipren.

Kalau ada yang tanya koq endingnya nanggung gitu sih? Gantung banget. Jujur aku juga maunya ga nanggung akhirnya tapi kalau jadinya gitu gimana dong? Hahahaha.

Kalau ada yang bilang endingnya rancu, ga jelas, ga nyambung. Yah maklumin lah, tiap penulis punya gaya masing-masing untuk karya mereka. Termasuk cara penyampaian ending. Sengaja kubuat gitu, biar kalian nebak-nebak sendiri lah akhirnya gimana. Yang jelas Indi tetap jadi Bu guru relawan. 

Akhir kata, thankyou buat olmaipren yg udah ngikutin baca di ketiga chapter. Maaf kalau ada salah-salah kata ya, typo dan segala macam.

See u @ other story,

Bye.


-Tari-

Penulis amatir.